Minggu, 30 Juli 2017

Hubungan Antara Proses Induksi Dalam Persalinan Dengan Resiko Autisme Pada Bayi

induksi persalinan , syarat induksi persalinan , persalinan induksi , persalinan dengan induksi , pengertian induksi persalinan , induksi dalam persalinan , induksi pada persalinan , induksi ketika persalinan , definisi induksi persalinan
Tahun lalu , sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti dari Duke University of Durham melaporkan , bayi yang lahir dengan persalinan induksi mengalami peningkatan risiko autisme.

Menurut Simon Gregory , sang peneliti , 27% lebih bawah umur yang lahir dari Ibu dengan proses persalinan induksi , augmentasi , atau keduanya , berisiko terkena autisme. Penelitian tersebut menggunakan data kelahiran lebih dari 600 ribu anak yang lahir pada 1990-1998 di North Carolina , termasuk 5 ribu data anak yang didiagnosis autisme.

Induksi merupakan prosedur medis yang menghadirkan kontraksi rahim sebelum rahim memperlihatkan tanda-tanda kelahiran atau sebelum terjadinya kontraksi. Sedangkan augmentasi yakni prosedur yang mempercepat proses persalinan dimana rahim sudah mengalami kontraksi terlebih dahulu namun berjalan lambat.

Dari penelitian tersebut terungkap , paparan hormon oksitosin yang digunakan dalam induksi persalinan dapat mensugesti sistem saraf bayi , yang mungkin saja besar lengan berkuasa dalam peningkatan risiko autisme. Terlebih ditambah dengan kondisi kesehatan Ibu yang bisa memperbesar risiko tersebut , menyerupai : usia , diabetes selama kehamilan , dan kelahiran prematur.

Coba , Ibu hamil mana yang tidak ciut hatinya mengetahui hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Pediatrics pada 2014 itu?


Tidak Terbukti


Tenang saja , sudah ada studi terbaru yang menjelaskan bahwa induksi tidak meningkatkan risiko autisme pada anak. Studi terbaru tersebut dideklarasikan dalam konferensi tahunan Society for Maternal-Fetal Medicine pada 5 Februari 2015 di San Diego. Peneliti mengungkapkan bahwa proses induksi tidak berkaitan dengan peningkatan gangguan autisme pada anak.

Para peneliti yang merupakan dokter serta psikolog dari University of Utah tersebut menggunakan dan menganalisis data bawah umur kelahiran 1998-2006. Setelah membandingkan 2500 anak dengan gangguan autisme dan 166 ribu anak tanpa autisme , ditemukan bahwa bawah umur yang terkena induksi persalinan , augmentasi , atau keduanya , tidak mengalami peluang peningkatan autisme , baik pada anak laki-laki maupun perempuan.

Bahkan , peneliti telah menyesuaikan dengan faktor-faktor penting lain , menyerupai : kesehatan sang Ibu , status ekonomi keluarga , kondisi selama kehamilan , serta tahun kelahiran. Dengan demikian , studi terbaru berjudul “Autism Spectrum Disorder and Induced/Augmented Labor : Epidemiologic Analysis of a Utah Cohort” ini dianggap lebih valid dan relevan.

“Induksi persalinan merupakan taktik penting untuk meminimalkan risiko bagi Ibu dan bayi dalam beberapa situasi ,” kata Erin AS Clrak , MD , penulis utama penelitian di University of Utah.

Tak dapat dipungkiri , pembahasan wacana autisme memang telah lama bergejolak di Amerika. Pasalnya , satu diantara 68 anak di sana mengalami gangguan autisme , sehingga cukup banyak peneliti yang mencoba mencari faktor-faktor yang memiliki kaitan dengan kondisi tersebut.

Kaprikornus kesimpulannya , amankah  proses induksi tersebut?


Sesuai Indikasi


Seperti sudah dijelaskan di atas , induksi merupakan sebuah proses untuk merangsang kontraksi rahim dengan tujuan mempercepat proses kelahiran. Hal ini berarti , tak semua proses kelahiran membutuhkan induksi , kecuali bila Ibu dan atau buah hati berisiko mengalami komplikasi kesehatan kalau bayi tak dilahirkan segera.

Salah satu kasus paling umum yang biasanya memerlukan induksi ialah ketika Ibu belum juga mencicipi kontraksi atau tanda-tanda persalinan , padahal usia kandungan sudah melewati HPL (hari perkiraan lahir) atau telah memasuki usia 41-42 minggu. Di usia tersebut , kualitas plasenta sudah sangat menurun , jumlah air ketuban juga semakin sedikit , sehingga bila bayi tak dilahirkan segera , ditakutkan akan mengurangi kesejahteraan bayi.

Induksi juga dilakukan apabila ketuban sudah pecah. Bila tak ada abses , bayi harus dilahirkan dalam waktu 12 jam atau 24 jam pasca ketuban pecah. Pasalnya , air ketuban yang pecah membuktikan bayi sudah kehilangan “rumah” yang menjaganya dari banyak sekali macam ancaman , sehingga membuatnya terhubung pribadi dengan dunia luar yang penuh basil , kuman , ataupun virus. Kondisi ini membuat bayi berisiko tinggi terkena abses atau komplikasi kesehatan lain bila tidak segera dilahirkan.

Induksi lainnya yang mengharuskan Ibu hamil menerima induksi , yaitu : Ibu hamil mengalami penyakit preeklamsia , diabetes , lepasnya plasenta dari dinding rahim , serta kondisi lainnya yang membuat bayi perlu dilahirkan segera.

Nah , sudah terang bukan , bila dilakukan sesuai indikasi , maka proses induksi terbilang aman.


Berakhir Dengan Sesar?


Tapi , kabarnya , kalau dilakukan induksi , ujung-ujungnya akan disesar juga?

Tidak selalu berakhir dengan sesar , kok. Selama Ibu hamil dan bayi dalam kandungan masih dalam kondisi sehat , induksi bisa terus dilakukan sampai bayi siap untuk dilahirkan secara normal.

Selama proses induksi , kesehatan bayi  memang bisa saja mengalami penurunan , walaupun jarang terjadi. Ada kemungkinan kontraksi buatan yang dihasilkan selama induksi menyebabkan rasa tak nyaman pada janin sehingga menyebabkannya stres. Bila tidak segera ditangani , janin bisa masuk dalam kondisi gawat , menyerupai kekurangan oksigen atau detak jantungnya melemah. Untuk menghindari hal tersebut , dokter akan terus memantau hasil CTG guna menentukan , apakah janin masih dalam kondisi baik atau tidak untuk dilanjutkannya proses induksi. Dengan demikian , bila jalan lahir tak membuka , padahal kesejahteraan bayi mulai menurun , bukan tak mungkin indksi akan berakhir pada operasi sesar.

Selain komplikasi kesehatan , faktor kesiapan Ibu hamil juga ikut menentukan berhasil atau tidaknya proses induksi untuk mencapai pembukaan lengkap. Pasalnya , induksi ditujukan untuk menciptakan rasa mulas dengan frekuensi yang dinaikkan secara bertahap , sehingga bukan tak mungkin Ibu akan tak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan. Itulah mengapa , tak sedikit Ibu hamil  yang berpendapat , mulas pada ketika induksi lebih sakit daripada mulas pembukaan biasa. Apalagi , kontraksi memang “dibuat” lebih cepat ketimbang kontraksi yang terjadi secara alami. Nah , apakah Ibu bisa bertahan dengan rasa sakit tersebut? Jika Ibu merasa benar-benar tak kuat , biasanya induksi akan dihentikan dan dilakukan operasi sesar. Itu alasannya , induksi perlu pengawasan yang ketat dari dokter.

Kaprikornus , bukan berarti , kalau dilakukan proses induksi dalam persalinan , maka akan selalu diakhiri dengan operasi sesar. Selain itu , biar induksi berjalan lancar , sebaiknya Ibu juga memastikan semua tahapan yang harus dilalui dapat berjalan dengan semestinya. Apa saja tahapannya? Lihat video dibawah ini! Namun , perlu dipahami , tidak semua Ibu hamil yang pernah diinduksi akan melewati tahapan induksi yang sama , jenis dan waktu induksi bergantung pada kondisi Ibu maupun janin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar